TTL | : | Surabaya, 21 Juli 1964 |
Status | : | Kawin |
Pendidikan | : | S-1 Ekonomi UGM |
: | jinkcomics@gmail.com | |
Karakter | : | Dirgantara, Kanser, Komet, Baja, Taruna dan Adinda, Ngoh, Lessus, Traga, Panji Kesupen, Lelawa, Speed, Bzar, Shakuntala, Surobejo |
Karya | : | Lihat di sini |
Superhero favorit | : | Godam, Gundala, Batman, Spider-Man |
Komikus favorit | : | Wid NS, Hasmi, Ardiansyaf, Lee Bermejo, Alex Ross |
Kenapa Ngomik?
'Ngomik' (membuat komik) adalah salah satu cara untuk menyampaikan pesan atau fantasi dalam bentuk gambar yang memiliki alur cerita. Saya memilih cara ini hanya karena saya hanya bisa menggambar dengan sedikit kemampuan untuk membangun sebuah cerita.
Saya tertarik membuat komik sejak kelas 1 SD (sekitar tahun 70-an. Pada awalnya hanya sekedar membaca dan menikmati gambarnya. Dari situ hasrat untuk menggambar pun terpacu. Komik pertama saya dibuat di selembar kertas. Adegannya, seorang pangeran yang menyatakan cinta kepada putri cantik dengan satu baris dialog: "Putri, maukah kau menikah denganku?". Saya membuatnya saat berumur 6-7 tahun dan saya tunjukkan kepada saudara-saudara dan teman saya yang datang ke rumah.
Komik supersingkat saya yang begitu lugu tak lepas dari pengaruh komik HC Andersen yang populer pada saat itu.
Ketertarikan saya untuk membuat komik bergenre superhero muncul saat maraknya komik berlabel fantasi karya Hasmi, Wid NS, Kus Bramiana, Mater, dan lain-lain. Dari sekian banyak komik superhero yang muncul saat itu, karakter yang paling saya gemari adalah Gundala karya Hasmi dan Godam ciptaan Wid NS.
Dari kedua komikus saya belajar untuk memahami anatomi tubuh sebagai bekal membuat komik superhero. Tak heran jika kemudian ada yang mengatakan kalau gaya gambar saya mirip dengan gaya Hasmi dan Wid NS.
Sejak itu saya mulai menekuni komik superhero sampai sekarang. Tokoh superhero pertama saya bernama Rider, tapi tak pernah saya kembangkan karena ternyata identik dengan merk celana dalam. Saya membuat lagi dan saya beri nama Dirgantara. Komik Dirgantara saya buat di buku tulis dengan peralatan sederhana berupa fulpen yang tintanya bisa diisi ulang. Merk tinta tulis yang paling umum saat itu adalah Quink.
Kenapa "in Silence"?
Dari awal saya menekuni bidang komik, saya selalu bekerja sendirian. Komik Kanser misalnya. Saya mengerjakannya di kamar kos ketika saya menempuh studi di UGM Jogja. Demikian juga, ketika aku kembali ke kampung halaman saya di Surabaya, saya masih membuat komik meskipun tidak ada harapan akan diterbitkan, karena komik Indonesia mengalami masa suram. Saya merasa seperti tidak ada orang lain yang tertarik untuk membuat komik selain saya. Dalam saat-saat kesepian saya membuat Ngoh (judul awalnya adalah Gempar, kemudian ganti jadi Misi Penghancur, dan finalnya adalah Ngoh) dan Suatu Ketika Dalam Hidup Gundala (SKDHG).
Mata saya mulai terbuka ketika saya mulai berkenalan dengan internet, utamanya situs Multiply. Melalui Multiply saya kenalkan komik SKDHG yang ternyata memiliki peminat lumayan banyak. Ternyata saya tidak sendirian. Dan melalui SKDHG pula saya berkenalan dengan Arieswendha (Chis) yang kemudian mengenalkan saya dengan Berny Julianto, Arief Hargono dan Nico Jeremia yang telah mengikrarkan Neo Paradigm Studio (NPS) sebagai wadah berkarya mereka. Saya pun bergabung dengan mereka untuk mengerjakan komik Aquanus: Benua Ketujuh. Itu terjadi tahun 2006.
Selain nama-nama yang saya sebut di atas, ada juga Surjorimba Suroto, Andi Wijaya, Liliek Suryonugroho, Namastra Probosunu, Leonis Hadar/ Endarto, YG Soe/ Yanuardi, Unggul Setiadi, Henry Ismono, dan Luthfi Wisnuaji Proboatomojo.
Saya menyambut gembira semangat juang Berny cs untuk beranjak pada proyek komik berikutnya. Saya yang pernah bekerja di sebuah studio animasi dan merasakan nikmatnya bekerja di antara sesama penggiat seni kemudian memimpikan untuk menggalang rekan-rekan NPS agar bisa menggarap komik bersama-sama dalam satu studio. Saya bahkan nekad resign dari perusahaan tempat saya bekerja selama 17 tahun demi mewujudkan mimpi itu.
Tapi tetap saja, pada akhirnya saya masih bekerja dalam kesendirian dan keheningan karena pada umumnya membuat komik hanya sebagai usaha sampingan dan sekedar menyalurkan hobi. Mereka sudah memiliki pekerjaan tetap yang tidak dapat ditinggalkan demi sebuah hobi. Saya yang terlanjur meninggalkan pekerjaan formal saya untuk fokus pada pembuatan komik, pada kenyataannya, harus memilih kembali bekerja formal dan menjadikan ngomik sebagai sampingan. Mungkin situasinya akan berbeda jika industri komik di Indonesia telah berkembang pesat seperti di Jepang atau Amerika. Sedih, tapi saya harus realistis.
Tapi tak apalah. Mungkin belum saatnya mimpi saya jadi kenyataan. Membuat komik dalam keheningan tetap mengasyikkan, meskipun energi saya tidak lagi seoptimal 5-10 tahun lalu. Syahwat saya untuk membuat komik tetap tinggi, tapi energi saya sudah terkuras setelah bekerja seharian. Ibarat kata, nafsu besar tenaga kurang. Tak pelak, itulah kenyataan yang harus saya hadapi. (Jink)
English version
Posting Komentar